Makandal
Makandal Adat Songan (Perkawinan Adat Songan) merupakan tradisi masyarakat bali aga, dimana pelaksanaan perkawinan adat Songan berbeda dengan desa-desa yang lainya yang disebut dengan “Makandal”. Perkawinan adat Songan disebut dengan “Palas” yang artinya Pisah. Pisah dalam hal ini berpisah dengan orang tua dalam artian pisah kemandirianya, setelah palas dengan Biakaon (Pembersihan pasangan pengantin laki-laki dan perempuan di rumah pihak laki-laki).
Setelah Biakaon dicarikan hari baik untuk dilaksanakan “Makandal”. Makandal asal katanya Kanda yang artinya pelaksanaan ritual sahnya sebuah perkawinan. Dalam pelaksanaan makandal ini berbeda dengan masyarakat desa lainya, khususnya di Songan dilaksanakan di Pura Desa (Pura Bale Agung) dengan diiringi dengan musik tradisional dimana pengantin diiring oleh sanak keluarga menuju ke Pura Desa.
Di Pura Desa disaksikan oleh prajuru desa dengan nama Jero Dulu; Jero Kubayan, Jero Panyarikan, Jero Bau, Jero Sinoman, dan masyarakat yang menyaksikan, upacaranya dipuput oleh Jero Balian Suci, Jero Dasaran, Jero Mangku terkait. Dilaksanakan di Pura Desa karena di pura desa ada Dua Bale atau dua Bangunan memanjang dengan nama Rwa Bineda (yang dua berbeda), dalam hal ini bangunan memanjang itu disebut dengan Bale Lantang dan Bale Lantang ini oleh masyarakat Songan disebut dengan Bale Sibak Kebot (bangunan di sebelah kiri) dan Bale Sibak Nawan (Bangunan di sebelah kanan), yang secara filosopi disimbulkan dengan Purusa sebelah kanan (laki-laki), Prakerti di sebelah kiri disimbulkan dengan wanita.
Pelaksanaan makandal (perkawinan di songan) ini sangat sakral karena di Pura Desa Stananya Dewa Brahma dalam masyarakat Songan disebut dengan Ratu Sakti Maduwe yang artinya semua isi dunia beserta isinya diciptakan / dimiliki oleh Ratu Sakti Maduwe. Setelah upacara makandal ini dilakukan mempelai (pengantin) diperbolehkan memasuki Pura Desa dan pura-pura yang lainya.